BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Korupsi di Indonesia telah menjamur
di berbagai segi kehidupan. Dari Instansi tingkat desa, kota, hingga
pemerintahan, bisa di bilang korupsi sudah membudaya di Indonesia. Korupsi
memang penyakit dari Indonesia yang sudah melekat dalam diri masyarakatnya.
Bahkan mereka melakukan hal tersebut tanpa melihat dari akibat yang akan
ditimbulkannya. Tetapi mengadakan usaha
untuk memberantas korupsi memang bukan suatu hal yang sia-sia. Penyelesaian
korupsi masih dipilah-pilah dan pelaksanaan hukumnya masih belum maksimal.
Masih banyak korupsi yang berkeliaran di Indonesia, dan masih sangat pintar
para koruptor untuk mengelabuhi, menipu dan menyuap agar kasus tersebut tak
segera muncul dipermukaan.
Seperti kasus dalam makalah ini,
kasus Aulia Pohan yang telah merugikan negara sebanyak 100 Milyar Rupiah. Namun
besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu hanya diberi hukuman dua pertiga
dari hukuman yang seharusnya dijalani. Hal tersebut karena remisi yang
didapatkan Aulia Pohan sehari setelah hari peringatan proklamasi Indonesia.
Aulia Pohan tidak bermain sendiri, dalam kasus ini mantan Deputi Gubernur Bank
Indonesia itu menyeret beberapa nama. Ini merupakan tamparan besar bagi
keluarga kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Kasus Aulia Pohan ini pun
mengalami banyak pro dan kontra. Pasalnya Aulia tidak turut memakan uang hasil
korupsi tersebut.
Ini merupakan sedikit gambaran
bahwasanya perkorupsian di Indonesia masih sangat membudidaya dan belum mampu
diberantas hingga akar-akarnya.
Akibat adanya kebiasaan korupsi ini, pemberantasan korupsi di Indonesia sangat
sulit dilakukan. Pemberantasan korupsi seharusnya dilakukan dengan cara
mengubah kebiasaan masyarakat sejak dini dan menanamkan paradigma bahwa korupsi
ini adalah suatu hal yang salah. Namun apa daya segala hal telah dicoba untuk
dilakukan perubahan tetapi jika kalangan pejabat atas selalu saja melakukan
membudidayakan kebiasaan korupsi dalan hal apapun akan mengakibatkan peniruan
dari kalangan bawah juga. Maka dalam makalah ini akan dibahas apa itu korupsi
dan solusinya untuk prospek kedepan, agar Indonesia semakin baik dan rakyat
dapat sejahtera.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan korupsi ?
2. Gambaran
umum tentang korupsi di Indonesia dan jenis – jenis korupsi ?
3. Bagaimana
persepsi masyarakat tentang korupsi ?
4. Apa
contoh kasus korupsi di Indonesia ?
5. Bagaimana
analisis terhadap kasus korupsi tersebut dalam segi perspektif dalam hukum ?
6. Upaya
- upaya yang harus di lakukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia?
C. TUJUAN
1. Untuk
mengetahui pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh tersangka korupsi.
2. Untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia agar menjunjung tinggi nilai –
nilai dan norma - norma di dalam etika pekerjaan, khususnya nilai kejujuran.
3. Untuk
mengetahui kebijakan- kebijakan pemerintah dalam menangani kasus korupsi yang
sedang marak di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
KORUPSI
Kata Korupsi berasal dari bahasa
latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik atau menyogok. Definisi korupsi di jelaskan dalam 13 pasal ( UU
No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 ) Merumuskan 30 bentuk / Jenis tindak
pidana korupsi, yang di kelompokan yaitu :
·
Kerugian keuangan Negara
·
Suap menyuap
·
Penggelapan dalam jabatan
·
Pemerasan
·
Perbuatan curang
·
Benturan kepentingan dalam pengadaan
·
Gratifikasi
Korupsi
menurut para ahli :
·
Huntington (1968) adalah perilaku
pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat,
dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan
pribadi.
·
Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah
tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk
keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum.
·
Heddy Shri Ahimsha-Putra (2002)
menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik pemaknaan.
Maka dapat disimpulkan korupsi
merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan
berbagai macam modus.
Seorang
sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga bentuk
korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Alatas
mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu
politik untuk menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang
dimilikinya dan dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6).
Inti
ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi
kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup
pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang
dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap masa bodoh
terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.
Istilah
korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi.
Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan
tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator
yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para
investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan,
martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi
dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.
Mengutip
Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya dibagi menjadi
dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little
culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan
subyektifitas pada budaya besar yang berpusat di kraton. Kraton dianggap
sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu
dianggap lebih rendah dari pada budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya
tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap ada bocoran budaya.
B.
MACAM
–MACAM KORUPSI
Dalam UU No 31 Tahun 1999 dan UU No
20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7
kelompok yaitu :
1. Korupsi
yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan.
2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap.
3. Korupsi
yang terkait dengan merugikan keuangan Negara.
4. Korupsi
yang terkait dengan pemerasan.
5. Korupsi
yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan.
6. Korupsi
yang terkait dengan perbuatan curang
Dari
definisi tersebut digabungkan dan dapat diturunkan menjadi dihasilkan tiga
macam model korupsi yaitu:
ü Model
korupsi lapis pertama : Berada dalam bentuk suap
(bribery), yakni dimana pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari
birokrat atau petugas pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar denda
ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa
datang dari birokrat atau petugas pelayanan public lainnya.
ü Model
korupsi lapis kedua : Jaring-jaring korupsi (cabal)
antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan yang
mendapatkan kedudukan istimewa. Pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat
ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan
lingkupnya bisa mencapai level nasional.
ü Model
korupsi lapis ketiga : Korupsi dalam model ini
berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan aparat penegak hukum
dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang
mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya
terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jarring-jaring korupsi
internasional korupsi tersebut.
C.
SEBAB
– SEBAB TERJADINYA KORUPSI
Penyebab
adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi,
secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya
sendiri. Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan
tindakan korupsi antara lain yaitu :
·
Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan
dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi tingkah
laku yang menjinakkan korupsi.
·
Kelemahan pengajaran-pengajaran agama
dan etika.
·
Kolonialisme, suatu pemerintahan asing
tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung
korupsi.
·
Kurangnya pendidikan.
·
Adanya banyak kemiskinan.
·
Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
·
Kelangkaan lingkungan yang subur untuk
perilaku anti korupsi.
·
Struktur pemerintahan.
·
Perubahan radikal, suatu sistem nilai
yang mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
·
Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
Menurut
Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi
yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan
sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misalnya dorongan dari
teman-teman, kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya).
Menurut Komisi IV
DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia,
yaitu :
1. Pendapatan
atau gaji yang tidak mencukupi.
2. Penyalahgunaan
kesempatan untuk memperkaya diri.
3. Penyalahgunaan
kekuasaan untuk memperkaya diri.
Dalam
buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-ciri korupsi
antara lain sebagai berikut :
• Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu
orang.
• Korupsi pada umumnya melibatkan
keserbarahasiaan.
• Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan
keuntungann timbale balik.
• Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan
berlindung dibalik perlindungan hukum.
• Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka
yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
• Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan,
biasanya pada badan publik atau masyarakat umum.
• Setiap bentuk korupsi adalah suatu
pengkhianatan kepercayaan.
• Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda
yang kontradiktif.
• Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas
dan pertanggungjawaban dalam masyarakat.
D.
CIRI
– CIRI KORUPSI
Ada bermacam – macam ciri korupsi.
Menurut ahli sosiolog dalam bukunya menerangkan beberapa ciri koruptor, yaitu:
·
Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari
satu orang.
·
Korupsi pada umumnya melibatkan
keserbarahasiaan.
·
Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan
keuntungann timbal balik.
·
Berusaha menyelubungi perbuatannya
dengan berlindung dibalik perlindungan hukum.
·
Setiap tindakan korupsi mengandung
penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum.
·
Setiap bentuk korupsi adalah suatu
pengkhianatan kepercayaan.
·
Perbuatan korupsi melanggar norma-norma
tugas dan pertanggungjawaban dalam masyarakat.
E.
PERSEPSI
MASYARAKAT TERHADAP KORUPSI
Rakyat
kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan
sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan
adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik
korupsi oleh be-berapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.
Kelompok
mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan de-monstrasi.
Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”.
Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para korup-tor.
Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak
puas terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu,
mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan
sistem pemerin-tahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan
kesejahteraan yang merata.
F.
KASUS
KORUPSI
Dalam makalah ini saya akan mencoba
menghadirkan satu contoh kasus yaitu kasus yang dialami oleh Aulia Tantowi
Pohan atau yang lebih dikenal dengan Aulia Pohan.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil mengusut kasus korupsi untuk kesekian
kalinya. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Aulia Pohan tersandung dakwaan
kasus korupsi. Aulia Pohan dianggap melakukan penyalahgunaan dana Yayasan
Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah). Dalam kasus ini menyeret pula beberapa nama yaitu Maman H.
Soemantri, Bunbunan E.J. Hutapea dan Aslim Tadjudin . Terjadi pro dan kontra
dalam kasus ini, dikarenakan menurut pemberitaan Aulia Pohan tidak ikut memakan
hasil korupsi tersebut sedangkan disisi lain Aulia Pohan bersalah karena
memiliki ide tersebut.
Majelis
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akhirnya mengganjar besan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu dengan pidana 4,5 tahun penjara. Sama hal
nya dengan rekan – rekannya yang mendapatkan hukuman penjara 4 hingga 4,5 tahun
penjara serta denda masing-masing Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Dalam putusan itu, majelis hakim sesungguhnya tidak kompak. Empat hakim, yakni
Edward Patinasarani, Anwar, Hendra Yospin, dan Slamet Subagyo menilai bahwa
Aulia Pohan bersama dengan rekan – rekannya dinilai terbukti bersalah dengan
dakwaan primer yang melanggar Pasal 2 (1) UU Pemberantasan Tipikor dan
melanggar pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hakim Hendra Yospin, anggota majelis yang
lain, menilai Aulia Pohan bersama dengan rekan – rekannya telah menyetujui
pencairan dana Rp 100 miliar itu di luar sistem anggaran.
Pada
saat peringatan HUT RI ke-65, 17 Agustus 2010 lalu Aulia Pohan bersama dengan
rekan – rekannya mendapat remisi. Dia bersama dengan tiga terpidana korupsi
aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) Bank Indonesia
menerima pengurangan hukuman selama tiga bulan. Usai menerima remisi, sejak 18
Agustus 2010 Aulia Pohan bersama dengan rekan – rekannya resmi bebas bersyarat.
Seperti yang diungkapkan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, “Dia sudah
boleh pulang ke rumah, tapi tidak boleh kemana - mana sampai masa tahanannya
berakhir. Untuk bebas bersyarat, syaratnya harus juga sudah membayar semua
denda kepada negara.” Pembebasan bersyarat itu diterima Aulia setelah dia
menjalani dua pertiga masa tahanan. Aulia Pohan ditahan sejak 27 November 2008.
Sebelumnya, Mahkamah Agung telah mengurangi hukuman Aulia Pohan dari empat
tahun menjadi tiga tahun penjara.
G.
ANALISIS
PELANGGARAN HUKUM, NILAI, NORMA DAN ETIKA
a. Pelanggaran
berdasarkan Hukum Materiil
Hukum materil adalah mengatur tentang
apa siapa dan bagaimana orang dapat dihukum. Dalam contoh kasus ini Aulia Pohan
terbukti bersalah karena melanggar pasal 2 ayat 1 UU pemberantasan tipikor yang
berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Dan melanggar pasal 3 UU pemberantasan tipikor
yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
b. Pelanggaran
berdasarkan Hukum Pidana
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur
tentang pelanggaran – pelanggaran dan kejahatan – kejahatan terhadap
kepentingan umum. Kasus Aulia Pohan termasuk dalam peanggaran hukum pidana
bukan pelanggaran hukum perdata. Karena Aulia Pohan telah melanggar kepentingan
umum yaitu merugikan keunangan negara.
c. Pelanggaran
terhadap Norma dan Etika
Nilai adalah suatu sifat atau kualitas
yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu yang mengandung
nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Sedangkan
norma adalah wujud yang kongkrit dalam tingkah laku untuk memberikan penilaian
tersebut. Dalam kasus ini Aulia Pohan telah melakukan pelanggaran terhadap
nilai – nilai dan norma – norma kejujuran.
Etika adalah suatu sikap yang membahas
tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap
yang bertanggung jawab berhadapan dengan ajaran moral. Dalam kasus ini, Aulia
Pohan telah melakukan pelanggaran etika dalam pekerjaan. Aulia Pohan melanggar
kode etik pekerjaan, yaitu melakukan suatu pekerjaan diluar kewenangannya.
H.
ANALISIS
KASUS DARI BERBAGAI PERSPEKTIF
1. Sosiologi
Hukum
Sosiologi
hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara emipiris dan analitis
mempelajari hubungan tibal balik antara hukum sebagai gejala sosial dan
gejala-gejala sosial lainyya. Sosiologi hukum juga memperjelas praktik-praktik
hukum.
Dalam
makalah ini, Aulia Pohan terbukti menuangkan suatu ide dalam penyalahgunaan
sana YPPI. Hal tersebut melanggar pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Meski hasil korupsi
tersebut tidak satu rupiah pun Aulia nikmati namun Aulia Pohan telah memperkaya
orang lain dengan penyalahgunaan dana tersebut. Apa yang dilakukan Aulia dan
kawan-kawan telah merugikan uang negara.
2. Ekonomi Hukum
Ekonomi
hukum adalah suatu ilmu yang dapat digunakan dalam hukum untuk mengetahui ada
tidaknya kerugian terhadap keuangan negara. Kasus Aulia Pohan merupakan kasus
korupsi, maka ilmu ekonomilah yang snagat membantu dalam proses pembuktiannya.
Aulia pohan telah merugikan uang negara sebesar 100 Milyar rupiah.
3. Politik
Hukum
Suatu
proses politik dalam hukum mampu melenyapkan ketegangan-ketegangan yang ada
dalam masyarakat. Aura politis ada dalam penyalahgunaan dana YPPI yang menyeret
Aulia Pohan ke meja hukum. Aulia dan kawan-kawan bekerjasama dalam pencairan
dana tersebut. Pembebasan Aulia Pohan juga diduga mengandung unsur politik.
Karena Auloia Pohan merupakan besan seorang presiden yang artinya bebasnya
Aulia merupakan penyembuhan nama baik seorang presiden beserta partain ya.
Sehingga Aulia dapat bebas lebih cepat dari waktu hukuman yang di tetapkan
hakim.
I.
SOLUSI
DARI KASUS KORUPSI
Dalam
melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga)
pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
v Pendekatan
pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
v Pendekatan
pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
v Pendekatan
pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.
Dari
tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan
memberantas korupsi yang tepat yaitu:
1. Strategi
Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan
dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya
korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya,
sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya
yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini
melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu
mencegah adanya korupsi.
2. Strategi
Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan
dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi
terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat
ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang
harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai
aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan
korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu
hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
3. Strategi
Represif.
Strategi ini harus dibuat dan
dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang
setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi.
Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji
untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan
tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinyaharus
dilakukan secara terintregasi. Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat
dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan.
Adapula
strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara represif antara
lain :
v Gerakan
“Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini
perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan
rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang
lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan
dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini
pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari
dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan.
Gerakan rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan
dukungan moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
v Gerakan
“Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki
komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang
status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan
dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur
structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang
sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya
masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
v Gerakan
“Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah
kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia.
Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat
yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan
menerima, mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara
lain dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau
seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif
membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
v Gerakan
“Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam
pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan
orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada
pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada
mereka yang telah terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena
korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang
melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan.
v Perlu
adanya sanksi yang tegas. Selama ini sanksi yang diberikan kepada para pelaku
tindak pidana korupsi sangatlah ringan. Seperti contoh kasus Aulia Pohan ini,
dia hanya menerima hukuman 4,5 tahun penjara. Bahkan Aulia Pohan bersama dengan
rekan – rekannya menerima pengurangan hukuman selama tiga bulan. Usai menerima
remisi, sejak 18 Agustus 2010 Aulia Pohan bersama dengan rekan – rekannya resmi
bebas bersyarat. Seharusnya remisi dihapuskan bagi para tersangka tindak pidana
korupsi. Serta perlu adanya hukuman mati bagi mereka yang melakukan tindak
pidana korupsi.
v Memiskinkan
harta para tersangka tindak pidana korupsi. Hal ini perlu dikukan agar para
pelaku tindak pidana korupsi tidak bias lagi menggunakan harta mereka yang
notabene bersumber dari negara tersebut untuk melakukan suap terhadap para
pelaku peradilan, contohnya suap terhadap hakim.
BAB VII
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Mencegah
korupsi tidaklah begitu sulit kalau kita secara sadar untuk menempatkan
kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau
golongan. Ini perlu ditekankan sebab betapa pun sempurnanya peraturan, kalau
ada niat untuk melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang ingin korup,
korupsi tetap akan terjadi karena faktor mental itulah yang sangat menentukan.
2. Pemerintah
Indonesia memang sudah berupaya untuk melakukan pemberantasan korupsi melaui
proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan sesuai dengan
undang-undang yang berlaku. Namun semuanya juga harus melihat dari sisi
individu yang melakukan korupsi, karena dengan adanya faktor-faktor yangt
menyebabkan terjadinya korupsi maka perlu adanya strategi pemberantasan korupsi
yang lebih diarahkan kepada upaya-upaya pencegahan berdasarkan strategi
preventif, disamping harus tetap melakukan tindakan-tindakan represif secara
konsisten. Serta sukses tidaknya upaya pemberantasan korupsi tidak hanya
ditentukan oleh adanya instrument hukum yang pasti dan aparat hukum yang bersih,
jujur,dan berani serta dukungan moral dari masyarakat, melainkan juga dari
political will pemimpin negara yang harus menyatakan perang terhadap korupsi
secara konsisten.
3. Jika
semua itu dilakukan dengan benar, serta adanya sanksi yang tegas bagi para koruptor,
maka negara kita pasti akan terbebas dari KORUPSI.
4. Ada
beberapa upaya yang dapat ditempuh dlam memberantas tindak korupsi di
Indonesia, antara lain :upaya pencegahan (preventif), upaya penindakan
(kuratif), upaya edukasi masyarakat/mahasiswa dan upaya edukasi LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat).
B.
SARAN
Semoga
makalah ini dapat bermanfat bagi para pembaca, terutama bagi mahasiswa yang
tertarik akan hal-hal penanganan korupsi.
Jika kiranya ada salah dalam penulisan dan kurangnya sumber ataupun
materi mohon kritik dan saran yang membangun .
DAFTAR
PUSTAKA
Gie.
2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih
Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan.
Mochtar.
2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas
UU
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Koentjaraningrat,
1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat.
Jakarta: PT. Gramedia.
Prasetyo,
Bambang dan Lina Miftahul Jannah. 2005. Metode
Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Singarimbun,
Masri dan Sofian Effendi, 1985. Metode
Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
http://pakarbisnisonline.blogspot.com/2009/12/pengertian-korupsi-dan-dampak-
negatif.html diakses 19 April 2014
http://soloraya.net/2010/01/korupsi-dan-pengertiannya/
diakses 19 April 2014
htttp://www.pdfqueen.com/pdf/'pengertian-korupsi-menurut-para-ahli/
diakses 19 April 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Korupsi di Indonesia telah menjamur
di berbagai segi kehidupan. Dari Instansi tingkat desa, kota, hingga
pemerintahan, bisa di bilang korupsi sudah membudaya di Indonesia. Korupsi
memang penyakit dari Indonesia yang sudah melekat dalam diri masyarakatnya.
Bahkan mereka melakukan hal tersebut tanpa melihat dari akibat yang akan
ditimbulkannya. Tetapi mengadakan usaha
untuk memberantas korupsi memang bukan suatu hal yang sia-sia. Penyelesaian
korupsi masih dipilah-pilah dan pelaksanaan hukumnya masih belum maksimal.
Masih banyak korupsi yang berkeliaran di Indonesia, dan masih sangat pintar
para koruptor untuk mengelabuhi, menipu dan menyuap agar kasus tersebut tak
segera muncul dipermukaan.
Seperti kasus dalam makalah ini,
kasus Aulia Pohan yang telah merugikan negara sebanyak 100 Milyar Rupiah. Namun
besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu hanya diberi hukuman dua pertiga
dari hukuman yang seharusnya dijalani. Hal tersebut karena remisi yang
didapatkan Aulia Pohan sehari setelah hari peringatan proklamasi Indonesia.
Aulia Pohan tidak bermain sendiri, dalam kasus ini mantan Deputi Gubernur Bank
Indonesia itu menyeret beberapa nama. Ini merupakan tamparan besar bagi
keluarga kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Kasus Aulia Pohan ini pun
mengalami banyak pro dan kontra. Pasalnya Aulia tidak turut memakan uang hasil
korupsi tersebut.
Ini merupakan sedikit gambaran
bahwasanya perkorupsian di Indonesia masih sangat membudidaya dan belum mampu
diberantas hingga akar-akarnya.
Akibat adanya kebiasaan korupsi ini, pemberantasan korupsi di Indonesia sangat
sulit dilakukan. Pemberantasan korupsi seharusnya dilakukan dengan cara
mengubah kebiasaan masyarakat sejak dini dan menanamkan paradigma bahwa korupsi
ini adalah suatu hal yang salah. Namun apa daya segala hal telah dicoba untuk
dilakukan perubahan tetapi jika kalangan pejabat atas selalu saja melakukan
membudidayakan kebiasaan korupsi dalan hal apapun akan mengakibatkan peniruan
dari kalangan bawah juga. Maka dalam makalah ini akan dibahas apa itu korupsi
dan solusinya untuk prospek kedepan, agar Indonesia semakin baik dan rakyat
dapat sejahtera.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan korupsi ?
2. Gambaran
umum tentang korupsi di Indonesia dan jenis – jenis korupsi ?
3. Bagaimana
persepsi masyarakat tentang korupsi ?
4. Apa
contoh kasus korupsi di Indonesia ?
5. Bagaimana
analisis terhadap kasus korupsi tersebut dalam segi perspektif dalam hukum ?
6. Upaya
- upaya yang harus di lakukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia?
C. TUJUAN
1. Untuk
mengetahui pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh tersangka korupsi.
2. Untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia agar menjunjung tinggi nilai –
nilai dan norma - norma di dalam etika pekerjaan, khususnya nilai kejujuran.
3. Untuk
mengetahui kebijakan- kebijakan pemerintah dalam menangani kasus korupsi yang
sedang marak di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
KORUPSI
Kata Korupsi berasal dari bahasa
latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik atau menyogok. Definisi korupsi di jelaskan dalam 13 pasal ( UU
No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 ) Merumuskan 30 bentuk / Jenis tindak
pidana korupsi, yang di kelompokan yaitu :
·
Kerugian keuangan Negara
·
Suap menyuap
·
Penggelapan dalam jabatan
·
Pemerasan
·
Perbuatan curang
·
Benturan kepentingan dalam pengadaan
·
Gratifikasi
Korupsi
menurut para ahli :
·
Huntington (1968) adalah perilaku
pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat,
dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan
pribadi.
·
Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah
tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk
keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum.
·
Heddy Shri Ahimsha-Putra (2002)
menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik pemaknaan.
Maka dapat disimpulkan korupsi
merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan
berbagai macam modus.
Seorang
sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga bentuk
korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Alatas
mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu
politik untuk menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang
dimilikinya dan dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6).
Inti
ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi
kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup
pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang
dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap masa bodoh
terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.
Istilah
korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi.
Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan
tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator
yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para
investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan,
martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi
dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.
Mengutip
Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya dibagi menjadi
dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little
culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan
subyektifitas pada budaya besar yang berpusat di kraton. Kraton dianggap
sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu
dianggap lebih rendah dari pada budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya
tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap ada bocoran budaya.
B.
MACAM
–MACAM KORUPSI
Dalam UU No 31 Tahun 1999 dan UU No
20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7
kelompok yaitu :
1. Korupsi
yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan.
2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap.
3. Korupsi
yang terkait dengan merugikan keuangan Negara.
4. Korupsi
yang terkait dengan pemerasan.
5. Korupsi
yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan.
6. Korupsi
yang terkait dengan perbuatan curang
Dari
definisi tersebut digabungkan dan dapat diturunkan menjadi dihasilkan tiga
macam model korupsi yaitu:
ü Model
korupsi lapis pertama : Berada dalam bentuk suap
(bribery), yakni dimana pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari
birokrat atau petugas pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar denda
ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa
datang dari birokrat atau petugas pelayanan public lainnya.
ü Model
korupsi lapis kedua : Jaring-jaring korupsi (cabal)
antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan yang
mendapatkan kedudukan istimewa. Pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat
ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan
lingkupnya bisa mencapai level nasional.
ü Model
korupsi lapis ketiga : Korupsi dalam model ini
berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan aparat penegak hukum
dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang
mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya
terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jarring-jaring korupsi
internasional korupsi tersebut.
C.
SEBAB
– SEBAB TERJADINYA KORUPSI
Penyebab
adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi,
secara umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya
sendiri. Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan
tindakan korupsi antara lain yaitu :
·
Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan
dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi tingkah
laku yang menjinakkan korupsi.
·
Kelemahan pengajaran-pengajaran agama
dan etika.
·
Kolonialisme, suatu pemerintahan asing
tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung
korupsi.
·
Kurangnya pendidikan.
·
Adanya banyak kemiskinan.
·
Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
·
Kelangkaan lingkungan yang subur untuk
perilaku anti korupsi.
·
Struktur pemerintahan.
·
Perubahan radikal, suatu sistem nilai
yang mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
·
Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
Menurut
Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi
yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan
sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misalnya dorongan dari
teman-teman, kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya).
Menurut Komisi IV
DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia,
yaitu :
1. Pendapatan
atau gaji yang tidak mencukupi.
2. Penyalahgunaan
kesempatan untuk memperkaya diri.
3. Penyalahgunaan
kekuasaan untuk memperkaya diri.
Dalam
buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-ciri korupsi
antara lain sebagai berikut :
• Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu
orang.
• Korupsi pada umumnya melibatkan
keserbarahasiaan.
• Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan
keuntungann timbale balik.
• Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan
berlindung dibalik perlindungan hukum.
• Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka
yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
• Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan,
biasanya pada badan publik atau masyarakat umum.
• Setiap bentuk korupsi adalah suatu
pengkhianatan kepercayaan.
• Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda
yang kontradiktif.
• Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas
dan pertanggungjawaban dalam masyarakat.
D.
CIRI
– CIRI KORUPSI
Ada bermacam – macam ciri korupsi.
Menurut ahli sosiolog dalam bukunya menerangkan beberapa ciri koruptor, yaitu:
·
Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari
satu orang.
·
Korupsi pada umumnya melibatkan
keserbarahasiaan.
·
Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan
keuntungann timbal balik.
·
Berusaha menyelubungi perbuatannya
dengan berlindung dibalik perlindungan hukum.
·
Setiap tindakan korupsi mengandung
penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum.
·
Setiap bentuk korupsi adalah suatu
pengkhianatan kepercayaan.
·
Perbuatan korupsi melanggar norma-norma
tugas dan pertanggungjawaban dalam masyarakat.
E.
PERSEPSI
MASYARAKAT TERHADAP KORUPSI
Rakyat
kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan
sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan
adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik
korupsi oleh be-berapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.
Kelompok
mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan de-monstrasi.
Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”.
Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para korup-tor.
Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998. Mereka tidak
puas terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh karena itu,
mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat dan
sistem pemerin-tahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan dan
kesejahteraan yang merata.
F.
KASUS
KORUPSI
Dalam makalah ini saya akan mencoba
menghadirkan satu contoh kasus yaitu kasus yang dialami oleh Aulia Tantowi
Pohan atau yang lebih dikenal dengan Aulia Pohan.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil mengusut kasus korupsi untuk kesekian
kalinya. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Aulia Pohan tersandung dakwaan
kasus korupsi. Aulia Pohan dianggap melakukan penyalahgunaan dana Yayasan
Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah). Dalam kasus ini menyeret pula beberapa nama yaitu Maman H.
Soemantri, Bunbunan E.J. Hutapea dan Aslim Tadjudin . Terjadi pro dan kontra
dalam kasus ini, dikarenakan menurut pemberitaan Aulia Pohan tidak ikut memakan
hasil korupsi tersebut sedangkan disisi lain Aulia Pohan bersalah karena
memiliki ide tersebut.
Majelis
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akhirnya mengganjar besan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu dengan pidana 4,5 tahun penjara. Sama hal
nya dengan rekan – rekannya yang mendapatkan hukuman penjara 4 hingga 4,5 tahun
penjara serta denda masing-masing Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Dalam putusan itu, majelis hakim sesungguhnya tidak kompak. Empat hakim, yakni
Edward Patinasarani, Anwar, Hendra Yospin, dan Slamet Subagyo menilai bahwa
Aulia Pohan bersama dengan rekan – rekannya dinilai terbukti bersalah dengan
dakwaan primer yang melanggar Pasal 2 (1) UU Pemberantasan Tipikor dan
melanggar pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hakim Hendra Yospin, anggota majelis yang
lain, menilai Aulia Pohan bersama dengan rekan – rekannya telah menyetujui
pencairan dana Rp 100 miliar itu di luar sistem anggaran.
Pada
saat peringatan HUT RI ke-65, 17 Agustus 2010 lalu Aulia Pohan bersama dengan
rekan – rekannya mendapat remisi. Dia bersama dengan tiga terpidana korupsi
aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) Bank Indonesia
menerima pengurangan hukuman selama tiga bulan. Usai menerima remisi, sejak 18
Agustus 2010 Aulia Pohan bersama dengan rekan – rekannya resmi bebas bersyarat.
Seperti yang diungkapkan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, “Dia sudah
boleh pulang ke rumah, tapi tidak boleh kemana - mana sampai masa tahanannya
berakhir. Untuk bebas bersyarat, syaratnya harus juga sudah membayar semua
denda kepada negara.” Pembebasan bersyarat itu diterima Aulia setelah dia
menjalani dua pertiga masa tahanan. Aulia Pohan ditahan sejak 27 November 2008.
Sebelumnya, Mahkamah Agung telah mengurangi hukuman Aulia Pohan dari empat
tahun menjadi tiga tahun penjara.
G.
ANALISIS
PELANGGARAN HUKUM, NILAI, NORMA DAN ETIKA
a. Pelanggaran
berdasarkan Hukum Materiil
Hukum materil adalah mengatur tentang
apa siapa dan bagaimana orang dapat dihukum. Dalam contoh kasus ini Aulia Pohan
terbukti bersalah karena melanggar pasal 2 ayat 1 UU pemberantasan tipikor yang
berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Dan melanggar pasal 3 UU pemberantasan tipikor
yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
b. Pelanggaran
berdasarkan Hukum Pidana
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur
tentang pelanggaran – pelanggaran dan kejahatan – kejahatan terhadap
kepentingan umum. Kasus Aulia Pohan termasuk dalam peanggaran hukum pidana
bukan pelanggaran hukum perdata. Karena Aulia Pohan telah melanggar kepentingan
umum yaitu merugikan keunangan negara.
c. Pelanggaran
terhadap Norma dan Etika
Nilai adalah suatu sifat atau kualitas
yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu yang mengandung
nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Sedangkan
norma adalah wujud yang kongkrit dalam tingkah laku untuk memberikan penilaian
tersebut. Dalam kasus ini Aulia Pohan telah melakukan pelanggaran terhadap
nilai – nilai dan norma – norma kejujuran.
Etika adalah suatu sikap yang membahas
tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap
yang bertanggung jawab berhadapan dengan ajaran moral. Dalam kasus ini, Aulia
Pohan telah melakukan pelanggaran etika dalam pekerjaan. Aulia Pohan melanggar
kode etik pekerjaan, yaitu melakukan suatu pekerjaan diluar kewenangannya.
H.
ANALISIS
KASUS DARI BERBAGAI PERSPEKTIF
1. Sosiologi
Hukum
Sosiologi
hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara emipiris dan analitis
mempelajari hubungan tibal balik antara hukum sebagai gejala sosial dan
gejala-gejala sosial lainyya. Sosiologi hukum juga memperjelas praktik-praktik
hukum.
Dalam
makalah ini, Aulia Pohan terbukti menuangkan suatu ide dalam penyalahgunaan
sana YPPI. Hal tersebut melanggar pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Meski hasil korupsi
tersebut tidak satu rupiah pun Aulia nikmati namun Aulia Pohan telah memperkaya
orang lain dengan penyalahgunaan dana tersebut. Apa yang dilakukan Aulia dan
kawan-kawan telah merugikan uang negara.
2. Ekonomi Hukum
Ekonomi
hukum adalah suatu ilmu yang dapat digunakan dalam hukum untuk mengetahui ada
tidaknya kerugian terhadap keuangan negara. Kasus Aulia Pohan merupakan kasus
korupsi, maka ilmu ekonomilah yang snagat membantu dalam proses pembuktiannya.
Aulia pohan telah merugikan uang negara sebesar 100 Milyar rupiah.
3. Politik
Hukum
Suatu
proses politik dalam hukum mampu melenyapkan ketegangan-ketegangan yang ada
dalam masyarakat. Aura politis ada dalam penyalahgunaan dana YPPI yang menyeret
Aulia Pohan ke meja hukum. Aulia dan kawan-kawan bekerjasama dalam pencairan
dana tersebut. Pembebasan Aulia Pohan juga diduga mengandung unsur politik.
Karena Auloia Pohan merupakan besan seorang presiden yang artinya bebasnya
Aulia merupakan penyembuhan nama baik seorang presiden beserta partain ya.
Sehingga Aulia dapat bebas lebih cepat dari waktu hukuman yang di tetapkan
hakim.
I.
SOLUSI
DARI KASUS KORUPSI
Dalam
melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga)
pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
v Pendekatan
pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
v Pendekatan
pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
v Pendekatan
pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.
Dari
tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan
memberantas korupsi yang tepat yaitu:
1. Strategi
Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan
dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya
korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya,
sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya
yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini
melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu
mencegah adanya korupsi.
2. Strategi
Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan
dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi
terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat
ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang
harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai
aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan
korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu
hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
3. Strategi
Represif.
Strategi ini harus dibuat dan
dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang
setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi.
Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji
untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan
tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinyaharus
dilakukan secara terintregasi. Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat
dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan.
Adapula
strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara represif antara
lain :
v Gerakan
“Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini
perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan
rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang
lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan
dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini
pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari
dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan.
Gerakan rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan
dukungan moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
v Gerakan
“Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki
komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang
status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan
dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur
structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang
sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya
masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
v Gerakan
“Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah
kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia.
Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat
yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan
menerima, mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara
lain dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau
seluruh lapisan masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif
membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
v Gerakan
“Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam
pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan
orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada
pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada
mereka yang telah terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena
korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang
melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan.
v Perlu
adanya sanksi yang tegas. Selama ini sanksi yang diberikan kepada para pelaku
tindak pidana korupsi sangatlah ringan. Seperti contoh kasus Aulia Pohan ini,
dia hanya menerima hukuman 4,5 tahun penjara. Bahkan Aulia Pohan bersama dengan
rekan – rekannya menerima pengurangan hukuman selama tiga bulan. Usai menerima
remisi, sejak 18 Agustus 2010 Aulia Pohan bersama dengan rekan – rekannya resmi
bebas bersyarat. Seharusnya remisi dihapuskan bagi para tersangka tindak pidana
korupsi. Serta perlu adanya hukuman mati bagi mereka yang melakukan tindak
pidana korupsi.
v Memiskinkan
harta para tersangka tindak pidana korupsi. Hal ini perlu dikukan agar para
pelaku tindak pidana korupsi tidak bias lagi menggunakan harta mereka yang
notabene bersumber dari negara tersebut untuk melakukan suap terhadap para
pelaku peradilan, contohnya suap terhadap hakim.
BAB VII
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Mencegah
korupsi tidaklah begitu sulit kalau kita secara sadar untuk menempatkan
kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau
golongan. Ini perlu ditekankan sebab betapa pun sempurnanya peraturan, kalau
ada niat untuk melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang ingin korup,
korupsi tetap akan terjadi karena faktor mental itulah yang sangat menentukan.
2. Pemerintah
Indonesia memang sudah berupaya untuk melakukan pemberantasan korupsi melaui
proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan sesuai dengan
undang-undang yang berlaku. Namun semuanya juga harus melihat dari sisi
individu yang melakukan korupsi, karena dengan adanya faktor-faktor yangt
menyebabkan terjadinya korupsi maka perlu adanya strategi pemberantasan korupsi
yang lebih diarahkan kepada upaya-upaya pencegahan berdasarkan strategi
preventif, disamping harus tetap melakukan tindakan-tindakan represif secara
konsisten. Serta sukses tidaknya upaya pemberantasan korupsi tidak hanya
ditentukan oleh adanya instrument hukum yang pasti dan aparat hukum yang bersih,
jujur,dan berani serta dukungan moral dari masyarakat, melainkan juga dari
political will pemimpin negara yang harus menyatakan perang terhadap korupsi
secara konsisten.
3. Jika
semua itu dilakukan dengan benar, serta adanya sanksi yang tegas bagi para koruptor,
maka negara kita pasti akan terbebas dari KORUPSI.
4. Ada
beberapa upaya yang dapat ditempuh dlam memberantas tindak korupsi di
Indonesia, antara lain :upaya pencegahan (preventif), upaya penindakan
(kuratif), upaya edukasi masyarakat/mahasiswa dan upaya edukasi LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat).
B.
SARAN
Semoga
makalah ini dapat bermanfat bagi para pembaca, terutama bagi mahasiswa yang
tertarik akan hal-hal penanganan korupsi.
Jika kiranya ada salah dalam penulisan dan kurangnya sumber ataupun
materi mohon kritik dan saran yang membangun .
DAFTAR
PUSTAKA
Gie.
2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih
Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan.
Mochtar.
2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi : Kompas
UU
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Koentjaraningrat,
1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat.
Jakarta: PT. Gramedia.
Prasetyo,
Bambang dan Lina Miftahul Jannah. 2005. Metode
Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Singarimbun,
Masri dan Sofian Effendi, 1985. Metode
Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
http://pakarbisnisonline.blogspot.com/2009/12/pengertian-korupsi-dan-dampak-
negatif.html diakses 19 April 2014
http://soloraya.net/2010/01/korupsi-dan-pengertiannya/
diakses 19 April 2014
htttp://www.pdfqueen.com/pdf/'pengertian-korupsi-menurut-para-ahli/
diakses 19 April 2014
No comments:
Post a Comment